Minggu, 20 Januari 2008

Biola tlah berdawai

Begitu cepat dua minggu berlalu, Nina yang selalu ceria merasa hidup ini terasa sepi. Dia duduk termangu di depan biola yang tergeletak tanpa dawai. Dia teringat film biola tak berdawai. Hanya judulnya saja, karena dirinya tak tahu apa ceritanya. Nina memandangi jam merah yang berada di tembok. Pukul 10 malam. Pantas terasa sangat sepi dan angin malam yang dingin menemani.


“Besok pagi sudah masuk ya?” Tanyanya pada sebuah boneka beruang yang cukup besar yang menemaninya malam itu.


Sepi. Tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Boneka tak dapat bicara, dia sadar akan hal itu. Tapi Nina senang bertanya pada boneka beruang itu karena tak pernah berkomentar atau menyangkal semua perkataannya. Leluasa jika Nina ingin banyak bicara tanpa merasa ada yang telinganya panas mendengar celotehnya. Namun sayang, itu membuatnya sepi.


Nina mengambil biola itu kedalam pelukannya. “Andai saja ada dawai yang bisa di gesek.” Tapi kata-kata itu tak sekedar kata-kata. Sungguh terkejut ruangan itu berubah menjadi ruang pesta. Nina menunduk kebawah, gaun pink melekat pada tubuhnya lalu dia berlari untuk mencari cermin. Dia menatap sesosok wanita yang tampak anggun memegangi sebuah Biola. Nina memutar-mutar biolanya dan 6 dawai biola terpasang rapi. Nina menengok kebelakang, terlihat banyak orang yang sedang berdansa tanpa musik. “Bagaimana mungkin?” Tanyanya pada Boneka beruang yang sedang duduk manis di kursi ketika dia duduk tadi.


Nina mengambil gesekan biola, sekejap suara merdu dari dawai yang ia gesek membuat pasangan yang berdansa itu semakin bersemangat. Namun tiba-tiba satu persatu menghilang.


“Mimpi.” Kata Nina ketika membuka kedua matanya. Dia menatap boneka beruang yang ada di sampingnya sejak semalam. Dia melihat jam merah yang berada di tembok. Jam 5 pagi. Dia berdiri dan ternyata Biola itu masih berada dalam pelukannya. “Berdawai.” Nina terkejut ketika melihat biola itu memiliki lengkap 6 dawai. Dia mencubit pipinya “Bukan mimpi. Tapi bagaimana bisa?” Tanyanya pada boneka kesayangannya itu lagi.


Sepucuk surat tertempel di tubuh beruang. Gunakan sebaik mungkin untuk mengibur jiwa yang kesepian. Your Brother. Nina tersenyum membacanya. Kata-kata adalah doa dan itu nyata. Biola itu kini tlah berdawai melengkapi fungsinya. Nina yakin amanat itu mampu dia lakukan yaitu menghibur jiwa-jiwa yang kesepian seperti dirinya. Namun dia sendiri bingung kakak yang mana yang memasang dawai biola itu karena begitu banyak kakak yang dia miliki. “Terimakasih my brother. Siapapun kamu yang mungkin aku bingung pastinya aku sangat bahagia. Karena dirimu adalah pendorong semangatku untuk mendapatkan keajaiban.”

Sebuah cerita dari kata cinta

Malam itu terbayang suara-suara merdu dari diri yang telah hilang. Fatma terbangun dari tidur malamnya. Entah apa yang dia rasakan tapi suara itu begitu merindu. Canda tawanya, suara mesranya yang sekarang entah kemana semua itu atau mungkin telah hilang bersama hembusan angin yang bertiup. Di liriknya hand phone yang tergeletak di atas meja belajarnya. Di ambilnya Hand phone itu dan dia menuliskan nomor hand phone pria itu. Pria yang memberikan dia seuntai kenangan indah meski hanya beberapa saat. Dia yang membuatnya terbangun di tengah malam dan mendengar celotehnya meski jarak memisahkan. Dia yang membuat hati merasa damai namun ketakutan terkadang datang melanda dalam hati Fatma.


Fatma tak berani untuk menghubunginya, untuk mendengar suara yang dia rindukan dalam malam-malamnya. Dia memutar-mutar benda kecil itu hingga terjatuh dan tidak sengaja tombol panggil tertekan. Reflek wajah Fatma pucat namun tak ada satu pun yang mungkin melihatnya. Jantungnya semakin berdetak kencang dan tak tahu harus berkata apa jika pria itu menerima telpon yang tidak disengaja itu.


Suara itu khas, sungguh lembut dan menyejukkan. Namun Fatma tak berani tuk berbicara. Dia hanya membiarkan pria itu bersuara cukup lama. Ingin rasanya Fatma membuka mulutnya. Tapi rasanya terkunci. Sulit sekali untuk mencoba berbicara. beruntung nomornya di sembunyikan hingga sang pangeran tak kan tahu keberadaannya.


Sungguh nyata, Fatma sangat menyayanginya, merindukannya dan membutuhkan dia. Bahkan selalu terbangun dalam tiap malam hanya karena teringat dia yang penuh kenangan. Karena suara merdu itu selalu menina bobokan dirinya sebelum tertidur. Namun itu tak mungkin terjadi lagi. Kenyataan tak mendukung mereka. Pria itu sering berkata bahwa dia sangat menyayangi Fatma. Sampai kapanpun, bahkan akan menunggu Fatma kembali padanya meski dia tak tahu apakah itu mungkin terjadi. Karena pria itu terlanjur sayang pada gadis cantik nan imut itu dengan suara manjanya sebelum tidur.


Namun semua hanya kenangan. Semua hanya sesaat. Bukan hanya mimpi semata namun kenyataan yang tak di sangka. Fatma mematikan Hand phonenya dan membaringkan tubuhnya di kasur empuknya. Membayangkan kisah cinta yang sempat terukir hingga terlelap dalam tidurnya di malam gelap.

Empat hari berlalu

Kilauan permata mulai berseri

Indah terasa merasuki hati

Cerita indah dalam tiap jejak

Napas terengah dalam gelap

Namun cahayanya menentramkan

Bersama bintang yang menari-nari

Namun semua hanya kenangan

Kilauan itu redup

Oh, bukan redup tapi lebih sejuk

Karena sinar bintang-bintang menghibur

Oh, hanya itu yang membuat semua terasa sempurna

aku bersama pangeran

Sejak kulihat sang mentari bersinar jemari tanganku seraya ingin menyentuh tiap huruf yang berada di keyboard komputerku. Aku suka sekali menulis. Tentang diriku, dirinya dan semua apa yang ku rasakan entah apa itu. Setiap aku sedang sendiri, kesepian menanti bergantinya hari dan hanya ini yang mampu kulakukan untuk membunuh waktu yang mungkin hanya akan terbuang sia-sia. Aku tak ingin waktuku terbuang. Sungguh ku sangat menyesal jika hal itu terjadi. Aku akan merasa sangat rugi. Menulis adalah hobbyku dan penulis adalah mimpiku. Namun yang kupikir sampai kapan aku harus menulis. Seumur hidupku kah? Ah, biarkan saja. Toh itu kebahagiaanku. Menulis adalah bagian dari hidupku dimana aku dapat melepas gundah yang ada dalam benakku.


Mungkin aku tak sehebat mereka yang sudah menulis beberapa buku yang mungkin sudah menjadi best seller di toko-toko buku terkemuka. Namun semangatku tak boleh redup. Karena semangatku adalah jalan hidupku. Itulah yang kupikir sejak aku mengenal menulis. Tanganku tak mau berhenti rasanya setiap aku sudah mulai menulis dengan asiknya. Entah apapun itu yang ku tulis hingga ke mana pun ceritanya. Aku berhenti sebentar dan ku putar musik-musik orkestra atau musik-musik yang hanya ada suara piano dan biola yang mendamaikan relung-relung hati.


Aku berbaring sebentar melepas lelah. Ku hirup udara malam yang dingin namun sejuk. Pikiranku melayang terbayang mengingat sebuah nama. Dirinya. Entah apa yang sekarang dia lakukan. Senyumnya yang hangat selalu terngiang di ingatanku.


Aku matikan komputerku dan aku pergi ke Regina fm untuk menemuinya. Ternyata dia sedang mengudara. Suaranya sungguh merdu ketika aku diam-diam untuk mendengar di ruangan dimana dia sedang berceloteh.


Dia menengok padaku ketika acaranya selesai. Senyumnya sungguh manis sekali. Tak pernah ku pikir sebelumnya ada dirinya yang selalu membuatku semangat menggapai samua mimpi-mimpiku. Allah itu adil. Dia telah mengirimku seorang pangeran seperti dalam dongeng-dongeng masa lalu. Pria itu menggandeng tanganku keluar dari studio dan membawaku ke kafe yang ada di situ. Dia memberiku segelas coklat hangat dimalam yang cukup dingin ini hingga pukul 8.30 membuatku harus pulang. Rumahku yang ada tepat di depan studio terlihat sudah sepi. Mungkin saudara-saudaraku sudah tertidur atau entah sedang apa. Pangeranku mengantarku kerumah sembari dia ingin menyapa kedua orang tuaku yang sedang asik berdua di taman samping rumah.ah, ternyata itu hanya mimpi, mimpi ketika kubuka kedua mataku.


Pagi yang hangat menyapaku yang sedang membersihkan rumah. Selesai aku mandi aku duduk di depan komputerku. Tak ada ide yang terngiang untuk ku tulis namun ketika aku buka lembaran yang kemarin belum ku selesaikan ceritanya, tanganku tak mau berhenti untuk terus menulis. Ku tulis banyak tentang dirinya. Sang pangeran hatiku yang ku damba seperti tiap malam ku bermimpi. Wajahnya sungguh jelas dan nama itu terngiang di telingaku. Namun sampai kapan aku hanya terus menulis tanpa mencarinya atau berusaha mencari dimana dia berada. Sungguh aku hanya bisa bermimpi tentangnya. Namun dia yang selalu menjadi inspirasiku. Dia yang hidup dalam hatiku nememaniku bermain di alam mimpi.


Aku tulis terus kisahku dan dirinya ketika masih bersama dulu. Ketika kita sempat berceloteh bersama. Hingga aku harus pergi untuk meninggalkan dia bersama semua kenangan indah yang ada di tempat-tempat di sudut kota.


Aku tersenyum ketika kulihat bukuku berada di rak buku populer. Secepat ini bukuku tersebar dan terus dicari banyak orang. Setiap hari aku tengok toko-toko yang menyediakan buku yang kutulis dan ternyata selalu ada yang membelinya. Sungguh bahagianya jika dia melihat bahwa kisahku dan dia sangat digemari semua orang.


Aku berbalik arah dan ingin pulang untuk menulis lagi kisah-kisahku yang lain saat bersama dirinya. Tiba-tiba sebuah tangan lembut menarik tanganku. Dia. Sungguh ini bukan mimpi atau khayalan belaka. Dia yang kurindu ada di depan kedua mataku. Dengan senyumnya yang hangat di ikuti dua lesung pipi yang sungguh manis. Dia memelukku dan aku pun tak tertahan untuk meneteskan air mataku. Doaku selama ini terkabul. Dia datang mencariku setelah dia membaca dan tahu bahwa ceritaku dan dialah yang menjadi objek bukuku. Dia pun telah lama menungguku. Menanti pertemuan ini terjadi. hingga jari-jari kami terisi cincin yang sungguh indah seindah hari-hari yang ku lewati dengannya dulu.

MAU DAPAT UANG DAN POSTER GRATIS DARI INTERNET ??? BUKA BLOG MASKU

Google
 

Google
 

KOMENTARNYA YA !!!